Nilai-tambah Syari’ah (Shari’ah Value-added)


Sebagai konsekuensi menerima SET, maka akuntansi syari’ah tidak lagi
menggunakan konsep income dalam pengertian laba, tetapi menggunakan nilai-tambah.
Dalam pengertian yang sederhana dan konvensional, nilai-tambah tidak lain adalah
selisih lebih dari harga jual keluaran yang terjual dengan costs masukan yang terdiri dari
bahan baku dan jasa yang dibutuhkan (Baydoun & Willett 1994; Collins 1994; Wurgler
2000). Dengan kata lain, konsep nilai-tambah di atas tidak lain adalah nilai-tambah
ekonomi, yaitu konsep nilai-tambah yang tangible dan terukur dalam unit moneter.
Konsep yang disampaikan oleh Baydoun & Willett (1994; 2000) pada dasarnya
sama dengan di atas. Mereka sebenarnya tidak secara khusus merumuskan konsep
nilai-tambah, tetapi yang diusulkan adalah Laporan Nilai Tambah. Suatu hal yang agak
berbeda – dan itupun tidak substansial – adalah pendistribusian nilai-tambah kepada
para mustahiq berupa zakat, infaq, dan shadaqah (zis).

Mulawarman (2006, 292) berusaha masuk dan memberikan kontribusi dengan
gambaran seperti berikut ini bahwa nilai-tambah syari’ah adalah:
...bentuk pertambahan nilai (zakka) yang terjadi secara material (zaka)
dan telah disucikan (tazkiyah) secara spiritual (non material). Proses
pembentukan zakka yang terjadi dari zaka yang telah melalui proses
tazkiyah. Prinsip tazkiyah adalah bentuk keseimbangan dari substansi
SVA [Shari’ah Value-Added], yaitu zakat. Zakat dengan demikian
adalah simbol penyucian dari pertambahan yang harus bernilai
keseimbangan dan keadilan.
Konsep yang disampaikan Mulawarman (2006) begitu abstrak dan sulit
dioperasionalkan. Zakat itu sendiri secara konkrit merupakan salah satu bentuk ibadah
yang secara spiritual sebetulnya adalah merupakan proses penyucian diri dari si pemilik
kekayaan. Artinya, dengan membayar zakat, pemilik kekayaan dibersihkan dari sifat
tamak, kikir, dan individualis.
Dalam konteks perusahaan, zakat memiliki fungsi yang sama, yaitu
menyucikan. Keputusan membayar zakat atau tidak tergantung dari manajemen
(berdasar pada fatwa dewan pengawas syari’ah). Keputusan tersebut bukan wilayah
akuntansi, tetapi wilayah manajemen. Dalam pemahaman yang sangat sederhana, jika
telah terjadi transaksi pembayaran zakat, maka tugas akuntansi adalah mencatat dan
menyajikannya dalam laporan keuangan. Tentu dalam pembahasan di sini
pengertiannya tidak sesederhana itu. Dalam studi ini, zakat lebih dipahami sebagai
konsep nilai (metafora zakat), yaitu konsep nilai yang digunakan sebagai dasar untuk
membangun akuntansi syari’ah.
Studi ini sependapat dengan Mulawarman (2006) dalam pengertian bahwa
(metafora) zakat memiliki nilai keseimbangan dan keadilan. Dua nilai ini adalah bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses konstruksi teori akuntansi syari’ah. Sekali lagi,
secara konkrit konsep nilai-tambah syari’ah belum ada.

Tidak ada komentar: